China Tak Akan Tinggal Diam jika AS dan NATO Gunakan Isu Ukraina untuk Provokasi Taiwan

BEIJING, - Pengamat politik Asia Pasifik, Thomas W. Pauken II, menilai pemerintah China akan mengambil tindakan yang tegas dan keras jika AS dan NATO menggunakan isu Ukraina untuk memprovokasi China terkait isu Taiwan, yang selama ini dianggap oleh Beijing sebagai bagian tak terpisahkan dari China.

"China percaya bahwa jika Taipei bergabung dengan NATO atau mendeklarasikan kemerdekaan, Beijing tidak punya pilihan selain menyerang dan merebut pulau itu kembali," katanya, dikutip Sputniknews.

"Orang Cina tidak melihat pemisahan damai terjadi. Mereka rela mati untuk merebut kembali Taiwan. Tetapi orang Barat tampaknya bingung dan tidak mengenali pola pikir orang Cina sehubungan dengan masalah Taiwan," tambahnya.

Menurut Pauken, tampaknya China tidak mengantisipasi bahwa Uni Eropa dan NATO akan menggunakan retorika perang, dengan memberlakukan kebijakan sanksi yang keras dan bahkan merugikan diri sendiri, sebagai tanggapan terhadap operasi khusus Rusia.

“China memiliki beberapa kekhawatiran bahwa Eropa dapat mengejar kebijakan pro-perang dan itu akan menempatkan Beijing pada risiko konflik yang lebih besar,” katanya seraya menambahkan bahwa China percaya bahwa NATO dan Rusia tidak akan memulai perang nuklir.

Pada 6 Mei kemarin, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Zhao Lijian sekali lagi mengkritik blok NATO yang dipimpin AS, mengutip peringatan pengeboman NATO atas Kedutaan Besar China di Yugoslavia pada 7 Mei 1999 yang merenggut nyawa tiga jurnalis China dan melukai lebih dari 20 diplomat China.

"NATO mengklaim sebagai organisasi defensif, tetapi kenyataannya telah berulang kali melanggar hukum internasional dan dengan ceroboh mengobarkan perang melawan negara-negara berdaulat, merusak perdamaian global dan regional dan membunuh serta menggusur sejumlah besar warga sipil tak berdosa," kata Zhao.

"Dalam pengejaran membabi buta terhadap 'keamanan mutlak', NATO terlibat dalam lima gelombang ekspansi ke Eropa timur berturut-turut setelah berakhirnya Perang Dingin, yang tidak membuat Eropa lebih aman, melainkan menabur benih konflik antara Rusia dan Ukraina, dan menyalakan kembali konflik di benua Eropa,” tambahnya.

Sementara itu, Yan Xuetong, seorang profesor Hubungan Internasional di Universitas Tsinghua, menilai China selama ini sudah berusaha untuk menerapkan strategi penyeimbangan sehubungan dengan krisis Ukraina. Hal itu dibuktikan dengan keputusan China yang tidak mengadopsi sanksi anti-Rusia ataupun mengecam operasi militer khusus Rusia di Ukraina.

"Beijing melihat sedikit keuntungan dari bergabung dengan paduan suara internasional yang mengutuk Moskow," tulis Yan Xuetong dalam sebuah artikel opini yang dirilis oleh Global Times.

Menurutnya, bagaimanapun juga tanggapan China terhadap operasi militer khusus Rusia tidak akan membuat Amerika Serikat melunakkan strategi permusuhannya dengan Beijing. Di saat bersamaan, China dan Rusia selama ini sudah menjalin kerjasama yang erat di berbagai sektor.

“sebagai tetangga China yang terbesar dan paling mampu secara militer, Rusia bukanlah kekuatan yang ingin dilawan oleh Beijing,” tegasnya.

"[Beijing] sekarang melihat Washington dengan sengaja meningkatkan perang [di Ukraina] untuk melemahkan Rusia dan China," tambahnya.



sumber: www.jitunews.com